To download PDF version of Article: Click on title “Mengenai Kata ALLAH”
Mengenai Kata ALLAH (Download PDF File)
‘Allah’ is for all Malay Speaking People in Nusantara (Malay Archipelago)
Recently, the Malay media has printed several articles that insist non-Muslims cannot use the word Allah to describe the supreme God they worship. One such article, written by the Director-General of IKIM (Institute of Islamic Understanding), appears in the following site: http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2008&dt=0106&pub=Utusan_Malaysia&sec=Rencana&pg=re_03.htm
It is a pity that this article is printed only in the Malay press. Its assertion that only Muslims have exclusive authority to decide how Bahasa Malaysia may be used for religious purposes would certainly draw a vigorous response in the English media (though certainly not in the censored mainstream English newspapers). Perhaps the article is intended more to ‘educate’ Malay readers even though readers of the Malay press show little interest in the issue. Political scientists may also be interested to note that the Government issued a gag order to prevent further discussion of the topic only after Muslim scholars were first allowed to express their views in the press.
As a result, the Malay papers have not printed a single article that offers a substantial analysis of the issue from the Christian perspective. To address this omission and unfair imbalance, I am making available an article written by a scholar who has studied in a renowned university in the Middle East and taught in Indonesia.
The article points to the existence of an extensive body of Bahasa Malaysia/Bahasa Indonesian literature written by non-Muslims in general and Christians in particular. This body of literature refutes the assumption that a few million Muslims in Peninsular Malaysia have the exclusive right and final authority to define how the Malay language may be used for religious purposes. Such a claim is evidently presumptuous since there are as many, if not more Christians in Indonesia, than the total population of Malaysia.
Hopefully, this calm and rational discourse will persuade local Muslims that they cannot and should not arrogate for themselves sole authority over a language that is regional in nature. In other words, their decision to ban non-Muslims from using ‘Allah’ is unreasonable and unacceptable.
——————————–
Mengenai Kata ALLAH
Kita mendekati pembahasan kata “Allâh“ dari sudut bahasa. Kata “Allâh” berasal dari dua kata: al, dan ilâh. Al adalah kata sandang (band. bahasa Inggris; the), and ilâh bererti: yang kuat, dewa. Dalam bahasa-bahasa Semit, kata ini menunjuk pada kuasa yang ada di luar jankauan manusia, yaitu pada dewa. Sudah di masa pra-Islam, al-ilâh disambung menjadi Allâh. Dan dalam agama orang-orang Arab pra-Islam, kata ini digunakan untuk menunjuk pada dewa yang paling tinggi di antara dewa-dewa yang lain yang masing-masing mempunyai namanya sendiri. Namun kata Allâh itu sendiri bukan nama, seperti di atas diterangkan. Dengan demikian, kata Allâh sudah ada dalam bahasa Arab sebelum Islam dalam zaman jahiliyya atau zaman politeis. Kata itu bukan ciptaan orang Islam, ia juga tidak baru muncul dalam Al-qur’ân Al-karîm, melainkan, dari sudut bahasa, ia merupakan kata biasa dalam bahasa Arab lepas dari ikatan dengan salah satu agama tertentu.
Secara etimologis dan semantic, kata ini terdapat pula dalam bahasa-bahasa Semit yang lain, mulai dengan bahasa Assiria dan Babilonia sampai bahasa Phoenikia di Ugarit, dan pula dalam bahasa Ibrani dan Siriani atau Arami yang luas digunakan di Timur Tengah sejak abad ke-5 sebelum Masihi sampai masa meluasnya agama Islam dan bahasa Arab pada abad ke-7 Masihi. Akar kata ini yang terdapat dalam bahasa-bahasa itu ialah dua konsonan (huruf mati), yakni alif dan lam (’ l), dan ucapannya yang lengkap dengan huruf hidup adalah sesuai dengan phonetic masing-masing bahasa, umpamanya ’el dalam bahasa Ibrani dan ’il dalam bahasa Arab.
Yang dikenal dalam bahasa Ibrani, dan dengan demikian pula dalam nats Ibrani Perjanjian Lama (Tenakh orang-orang Yahudi), adalah kata ’el dalam beberapa bentuknya, entah ’el-elyôn, dewa yang tertinggi, band. Kej. 14, ’el syaddai (dewa yang kuasanya dahsyat), dan lain sebagainya atau kata ’elôah (kepanjangan huruf hidup untuk menandai kebesaran). Dengan mengikut tata phonetika, maka ’elôah dalam bahasa Ibrani adalah sama dengan bentuk ilâh dalam bahasa Arab. Dari bentuk ’elôah ini dibentuklah kata jamak ’elôhim. ’Elôhim-lah yang paling sering digunakan dalam Perjanjian Lama, di mana jamaknya menunjuk kepada kemahabesarannya (pluralis maiestatis, atau jamak kemuliaan yang pula dikenal dalam Al-quran di mana perkataan Allâh dikemukakan dengan nahnû, kami). Di samping itu, “tetragram” (YHVH, Yahveh) digunakan pula, namun ialah nama Allâh (Kel. 3,14 dyb). Di kemudian waktu nama itu tidak diucapkan lagi melainkan dalam bacaan nats suci ia digantikan dengan ucapan adônay (Tuhan) atau saja dengan kata sy’mâ (bahasa Arami, band. bahasa Ibrani syêm dan bahasa Arab ism, artinya “nama itu”. Ucapan adônay atau sy’ma hanya digunakan dalam pembacaan, sedangkan dalam nats Ibrani yang tertulis, empat hurup YHVH tetap ditulis. Kebiasaan ini mengundang suatu kekeliruan di kalangan orang yang tidak mengetahui mengenai kebiasaan ini. Ketika tanda-tanda untuk huruf hidup ditambah pada nats bahasa Ibrani yang tertulis, maka tulisan YHVH ditandai dengan huruf-huruf hidup dari kata adônay,
dan kombinasi ini memberikan kesan seolah-olah kata itu dibaca “Yehovah“. Kekeliruhan ini sampai kini tetap dipertahankan oleh beberapa sekte Kristiani (seperti a.l. Saksi Yehovah) yang tidak tahu tentang aturan bahasa Ibrani dalam soal membaca nats suci. Jika YHVH berupa nama Allah yang kemudian tidak diucap, maka kata ’elôah, ’elôhim tetap digunakan dan diucap.
„Allâh“ memang bukan nama. Dalam agama Islam dikenal ada 99 nama Allâh yang terindah (al-asmâ’ al-husnà), dan di antaranya “Allâh“ tidak disebut. Hanya dalam tasawuf (mistik) Islam sekali-kali dikatakan bahwa “Allâh“ sebenarnya adalah nama yang ke-seratus yang dalam dirinya tertuang semua 99 nama yang lain. Akan tetapi inilah bahasa kesalehan (piety) atau bahasa pemujaan, bukan bahasa Ilmu Tauhid.
Dalam terjemahan Perjanjian Lama atau Tenakh ke dalam bahasa Yunani yang disebut Septuaginta dan yang dikerjakan sekitar 150 tahun sebelum Masehi oleh orang-orang Yahudi yang mukim di Mesir, tetragram (yakni 4 huruf tulisan YHVH) dialihkan dengan kyrios (artinya sama dengan adônay, Tuhan atau rabb), dan dari situ pengunaannya diambil oleh umat Kristiani dan Perjanjian Baru yang juga ditulis dalam bahasa Yunani. Sedangkan kata ’el, elôah atau elôhim dialihkan dengan kata ho theos, “dewa itu“ yang sama artinya dengan al-ilâh atau Allâh, dan demikian pula penggunaannya dalam Perjanjian Baru.
Dalam khotbah rasul Paulus di Areopagus di kota Athena, Paulus malah menghindari menyebut dewa-dewa Yunani dengan kata theoi (bentuk jamak dari theos) ketika ia menyinggung rasa religiositas orang Athena yang tinggi (Kisah para rasul 17:22). Kata yang ia pakai ialah deisidaimonesterous, yang dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan superstitiosiores, “yang sangat percaya kepada hal-hal yang sangat luar biasa“. Jadi „dewa-dewa“ Yunani disebut Paulus sebagai daimon, yakni begu atau leyak dalam bahasa-bahasa suku Indonesia atau jinn dalam bahasa Arab. Mereka bukan dewa, sehingga kata ho theos hanya digunakan untuk menunjuk kepada Allah yang benar. Hal ini kurang diperhatikan dalam terjemahan Alkitab bahasa Indonesia yang menerjemahkan kata Yunani itu dengan „yang sangat beribadah kepada dewa-dewa“; terjemahan itu tidak tepat. Dalam bahasa Alkitab, istilah-istilah yang digunakan diperiksa dengan sangat seksama. Keseksamaan yang dialektis itu juga nampak dalam Injil Yohannes, umpamanya dalam dua ayatnya yang pertama di mana dalam terjemahan-terjemahan pembedaan di antara theos dan ho theos (ilâh dan Allâh) tidak diperhatikan. Kata (ho) theos ini hanya digunakan untuk menunjuk kepada Allah yang benar dan tidak digunakan untuk dewa-dewa orang politeis. Suatu teologi yang bersifat ilmiyah harus pekah terhadap rincian-rincian seperti itu.
Melihat kewaspadaan rasul Paulus dan para penulis Alkitab yang lain dalam perkataan yang mereka pilih untuk menyebut Allah, maka mengherankan benar bilamana dalam terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, “dewa-dewa” orang-orang politeis juga diterjemahkan dengan ‘allah-allah”. Terjemahan itu salah, baik dari sudut teologis maupun dari sudut filologis. “Dewa-dewa” itu paling boleh diterjemahkan dengan “ilah-ilah” sebagai pengganti jamak bahasa Arab yaitu âliha, atau lebih baik lagi diterjemahkan dengan “dewa-dewa”. Juga tulisan “illahi (pakai dua “l”) yang sering kita temui memang salah adanya.
Dalam terjemahan Perjanjian Lama dan perjanjian Baru ke dalam bahasa Siryani yang digunakan di Siria sebelum Islam datang dan yang merupakan salah satu cabang bahasa Arami dan termasuk rumpun bahasa-bahasa Semit, terjemahan mana dikerjakan baik oleh orang-orang Yahudi maupun Kristen, maka kata yang digunakan untuk “Allâh” adalah lagi kata yang biasa digunakan dalam bahasa-bahasa Semit, yakni yang berakar dalam akar-kata ’ l dan dalam bahasa Siryani diucapkan alâhâ, “dewa itu” yang sama artinya dengan ha-’elôah dalam bahasa Ibrani, ho theos dalam bahasa Yunani dan Allâh (= al-ilâh) dalam bahasa Arab. Dengan demikian tidak mengherankan pula bahawa orang-orang Islam menggunakkan kata Allâh (= al-ilâh) untuk menunjuk kepada Allah yang benar, dan orang-orang Yahudi dan Kristen baik yang sudah menggunakan bahasa Arab sebelum agama Islam disebarkan maupun yang kemudian menggunakan bahasa Arab setelah wilayah mereka dikuasai oleh orang-orang Arab, memakai kata yang sama itu pula sebagaimana terbukti dari syâ’ir-syâ’ir Kristen Arab pra-Islam dan tulisan-tulisan Kristen Arab sesudah Islam datang. Tak masuk akal orang Muslim pada waktu itu untuk mengurus bahasa orang yang bukan Muslim.
Jadi kata Allâh sebagai salah satu kata yang memang tertanam dalam bahasa Arab dan senantiasa digunakan oleh setiap orang yang menggunakan bahasa Arab itu, lepas dari ikatan agamanya. Ia sudah digunakan oleh orang Arab di zaman pra-Islam yang sering disebut “zaman jahiliyya”, kemudian dipegang bersama-sama orang Yahudi dan Kristen yang menggunakan bahasa Arab dan kemudian pula orang-orang Islam, semua berdasarkan latar belakang etimologis kata itu sendiri, akan tetapi dengan memberikan isi dan makna sesuai dengan pehamanan teologis masing-masing yang berbeda satu sama dengan yang lain.
Tambah anehnya bahwa masalah ini muncul di sebuah wilayah di mana bahasa Arab merupakan bahasa asing. Yang “punya” bahasa itu sebenarnya pertama-tama mereka yang menggunakannya dalam kehidupannya sehari-hari, termasuk dalam bidang komunikasi umum maupun keagamaan. Namun di antara orang Arab tidak muncul masalah sebagaimana ia dikembangkan di luar wilayah yang berbahasa Arab itu. Semua aliran keagamaan yang hidup di Timur Tengah menggunakan kata Allâh sesuai dengan maknanya yang pokok, dan versi Arab dari Alkitab Kristen maupun kitab-kitab suci aliran-aliran yang lain menggunakannya sebagai bagian khazanah bahasa Arab itu. Sama halnya dalam bahasa sehari maupun dalam liturgia. Dari manakah orang bukan Arab mengambil hak dan wewenang untuk menentukan siapa yang boleh memakai bahasa atau kata Arab dan siapa tidak, kalau orang Arab sendiri tidak peduli?
Hal itu diakui pula dalam Al-qur’an sendiri di mana nabi Muhammad dalam percakapan dengan orang Kristen dan Yahudi menggunakan pula kata Allâh dan dengan sendirinya dicatatlah dalam buku suci umat Islam itu bahawa orang Yahudi dan Kristen menggunakan kata yang sama. Dalam tradisi Islam yang berbahasa Arab pun tidak pernah dipersoalkan bahawa orang-orang Yahudi dan Kristen menggunakan istilah yang sama dengan orang Islam untuk menyatakan Dia yang menjadi tujuan ibadah dan amal mereka. Malah juga dalam “Perjanjian Madina” yang diadakan sesudah Hijra, maka diakui pula bahwa Yahudi (dan Kristen) memang berbeda dalam agama (dîn), namun mereka tetap masuk ummat Allâh yang satu, yakni yang menyembah kepada Allah yang benar. Dan hal ini digarisbawahi oleh Hadith yang memberitakan bahwa orang-orang Kristen dari Najran, ketika mereka bertemu dengan nabi Muhammad di Madina untuk membicarakan hal-hal dogmatis di mana mereka berselisih paham dengan nabi, mereka dengan sendirinya diundang beliau untuk mengadakan ibadat mereka di musallah rumahnya karena di Madina tidak ada gereja. Maka diakui beliau bahwa mereka beribadat kepada Allah yang sama meskipun dengan agama (dîn) yang berbeda. Mempersoalkan sikap nabi Muhammad dan menafikannya dengan sikap yang melawannya, merupakan gejala yang baru yang bertentangan dengan Al-qur’an dan sunna nabi, dan karena itu semestinya disebut sebagai bid’at. Bid’at itu muncul umpamanya di Malaysia di mana orang-orang bukan Islam di beberapa bagian dilarang untuk menggunakan kata Allâh dan beberapa kata Arab lainnya. Orang-orang yang membujuk pemerintah Malaysia untuk tindakan itu sebenarnya jahil terhadap agama Islam dan tradisi ajarannya yang bersumber pada Al-qur’an dan Sunna nabi Muhammad. Kejahilan itu boleh saja dianggap masalah mereka sendiri. Namun dengan mencampuri urusan agama-agama orang yang lain yang mereka juga tidak pahami – selain agama Kristen maka agama orang Sikh dikena pula sebab dalam buku-buku suci mereka sudah digunakan kata Allâh sehingga mereka malah dilarang oleh pemerintah mereka membaca kitab suci mereka dalam bahasa aslinya yang oleh mereka juga dipahami sakral adanya – masalah itu menjadi masalah fitnahan dan intimidasi, di mana orang-orang jahil itu hendak memaksakan pendapat mereka bahawa umat-umat beragama lain memuja dewa selain Allah. Fitnahan itu melanggar tata krama dan akhlaq, suatu hal yang tidak layak bagi orang beragama dan yang meracuni hubungan lintas agama.
Di Indonesia dapat pula muncul masalah bilamana syahâda Islam yang pertama , la ilâha illa ’llâh, diterjemahkan: “tiada Tuhan selain Allah”. Terjemahan itu keliru karena arti ilâh bukan “tuhan” melainkan “dewa”, sedangkan “tuhan” itu ialah rabb dalam bahasa Arab, bukan ilâh atau Allâh. Hal itu pun tidak perlu menjadi masalah selama setiap umat beragama mengurus ajarannya sendiri, sesuai dengan nats dan maksud sila pertama dalam Pancasila. Namun ia menjadi masalah bilamana pemeluk salah satu agama merasa diri terpanggil untuk menafsirkan dan menghasut ajaran agama yang lain dengan bertolak dari ajaran agamanya sendiri. Umat Kristen mengaku Yesus Kristus (‘Isa al-Masih) sebagai Tuhan (rabb) berdasarkan faham mereka tentang penyataan Allah yang menyatakan DiriNya dan KehendakNya sebagai yang tritunggal. Jadi menyebutkan Yesus sebagai “Tuhan” dengan mengingat latar belakang kata itu dalam Alkitab yakni YHVH atau nama Allah dengan yang mana Allah memperkenalkan diri, berarti bahawa tetap Allah yang satu ditujukan melalui penyataannya. Tak mungkin mempertentangkan atau memisah Yesus Kristus sebagai penyataan dengan Allah yang menyatakan DiriNya di dalamnya dan yang sekaligus berkuasa melalui Rohnya yang kudus. Inilah faham tentang Allah yang tritunggal yakni Allah yang sama dan satu yang melalui wahyuNya sendiri memperkenalkan Diri dalam tiga penampilan yang berbeda.
Namun diketahui pula bahawa di antara orang-orang Islam ada yang menuduh orang Kristen percaya pada tiga dewa di mana Allah dipisahkan dari Yesus Kristus dan Rohulkudus, atau malah Maryam. Atas latar belakang tuduhan itu maka sebutan Yesus Kristus sebagai Tuhan bisa menimbulkan kesan seolah-olah dia disembah di samping, atau selain Allah dan jika itu diterima, maka orang Kristen bisa juga dituduh berdiri di luar Pancasila dan Ketuhanan yang Maha Esa. Uraian seperti itu memang mentahrifkan (memutarbalikkan) ajaran Kristen, namuan rupanya ia tetap disebarluaskan dan malah digemari oleh pihak yang tidak paham dan suka memfitnah.
Kenyataan itu seyogianya merangsang orang-orang Kristen sendiri untuk senantiasa memeriksa kembali bahasa ajaran teologis dan pengakuan mereka sendiri supaya jangan mereka sendiri turut menimbulkan kesalahpahaman seperti itu. Kelalaian dalam bahasa iman harus dihindarkan. Jika umpamanya dalam cetakan Pengakuan Iman Rasuli dicetak
begini:
Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa ….. dst.
dan kepada Yesus Kristus …..dst.,
dan aku percaya kepada Rohulkudus ….. dst.
maka dengan sendirinya timbul kesan seolah Allah dan Bapa itu sama sedangkan dua penyataan Allah yang lain (Yesus Kristus dan Rohul-kudus) berbeda. Yang seharusnya dicetak ialah:
Aku percaya kepada Allah:
1) Bapa yang mahakuasa…, dan
2) Yesus Kristus… dan
3) Aku percaya kepada Rohulkudus… dst.
Sehingga titik 1 s/d 3 menjadi jelas sebagai penerangan tentang Allah yang satu dan siapa Dia dan pekerjaanNya. “Penerangan” dalam bahasa teologi ialah penyataan atau wahyu. Jadi faham tentang Allah yang tritunggal bukanlah hasil pemikiran manusia melainkan isi dari penyataan Allah terhadap Diri sendiri. Demikian pemahaman orang Kristen. Sebenarnya tidak pernah ada perselisihan antara Muslimin dan Kristen menenai syahada Islam yang pertama: tiada ilâh selain Allâh. Perselisihan muncul berhubung dengan bagian syahâda bagian kedua: dan aku menyaksi bahwa Muhammad rasûl Allâh. Pengakuan ini ialah ciri khas dîn al-Islâm. Namun kenyataan ini pun sesuai dengan ucapan Perjanjian Medina: Ummat Allah ialah satu ummat (ummatu ‘llâh ummatun wahîda, akan tetapi: Li-l-Yahûd dînuhum wa-li-l-Muslimîna dînuhum (kepada Yahudi dîn – agama – mereka dan kepada Muslimin dîn mereka). Demikian sikap dan ketentuan Islam yang asli: satu ummat karena satu Allah, namun dîn berbeda karena nabi masing-masing berbeda. Bagaimana mereka yang hendak mempertentangkan sebagian ummat Allah terhadap yang lain membenarkan sikap mereka di hadapan ketetapan nabi Islam sendiri?
Karena latar belakang etimologis dan sebagian pula tradisi kepercayaan bersama agama-agama yang dalam tradisi Islam disebut “agama-agama surgawi” (al-adyân as-samâwiyya) maka orang-orang Islam yang tinggal sekarang di benua Eropa atau Amerika di tengah-tengah umat Kristen dan yang menggunakan bahasa-bahasa Eropa, sejak lama menuntut bahawa mereka pula dapat menerjemahkan kata Allâh ke dalam bahasa-bahasa Eropa itu menjadi God, Gott, Dieu dan lain-lain. Mereka dulu dihalang oleh beberapa tokoh gereja yang menuduh bahwa “Allah” ialah dewa lain dari pada yang dikenal di Eropa. Namun tuntutan orang Islam itu memang tidak dapat ditolak karena “Allâh” bukan nama melainkan sebutan, dan Allah hanya ada satu sedangkan yang berbeda ialah agama-agama. Ataukah harus orang-orang Eropa mengikuti contoh fitnahan dan melarang orang-orang Islam (dan yang menganut agama lain pula) menggunakan kata-kata Eropa itu, dengan latar belakang pikiran dalam benaknya bahawa “Allah” merupakan nama pahala orang-orang Arab dan Islam dan tidak boleh diucapkan dengan kata bahasa orang Eropa? Lucu atau fasik ide itu, dan fitnahan hanyalah berbalik! Namun sama anehnya bilamana sebuah pemerintah merasa berwewenang untuk mencampuri urusan agama dan akida orang. Bagaimanakah seandainya orang-orang Buddhis di Malaysia atau Indonesia mau melarang orang-orang Islam untuk menggunakan istilah-istilah yang masuk ke dalam bahasa Melayu dari bahasa Sanskerta melalui tradisi Buddhisme pada zaman kerajaan Sri Wijaya sebelum Islam, seperti kata-kata dosa, karunia, manusia, syurga, duka, suka, rasa, cita dan puluhan lainnya yang punya konotasi keagamaan?
Bahasa adalah alat komunikasi di antara manusia. Kalau mau menyamapaikan sesuati dengan tepat, maka bahasa harus juga tepat. Tiga agama yang mengaku Abraham (Ibrahim) sebagai “nenek-moyang” iman mereka memang punya banyak kesamaan – di samping perbedaan pula – sehingga dalam soal mengungkapkan keyakinan keagamaan mereka, mereka sering menggunakan bahasa yang sama, meskipun diberikan definisi berbeda sesuai dengan rincian keyakinannya. Bahasa yang membawa faham monoteis ke kawasan Asia Tenggara ialah bahasa Arab yang dibawa oleh pemeluk Islam sehingga ia diambil oleh para Muslim Melayu dulu, sama seperti di India Utara (bahasa Urdu) atau malah Persia. Orang Kristen yang berbahasa Melayu dan yang juga monoteis mempertahankan bahasa itu bersama dengan kata-kata Arab karena mereka temui banyak konotasi yang mereka sudah mengenal dari perkembangan agama-agama mereka di Timur Tengah yang berbahasa Arab. Sudah terjemahan-terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu yang dikerjakan abad ke17 dan ke-18 menggunakan kata-kata itu. Sementara ini bahasa Melayu sudah dijadikan bahasa nasional baik di Indonesia maupun di Malaysia, yakni ia bukan secara eksklusif “bahasa agama”. Dengan demikian, penggunaan bahasa Melayu dengan segala khazanah linguistiknya sekarang ialah hak seluruh bangsa, bukan sebagiannya saja. Menggugat kenyataan ini menimbulkan pertanyaan bukan saja mengenai faham keagamaan melainkan juga mengenai faham kebangsaan mereka yang hendak mempertentangkan satu kelompok terhadap yang lain.
Memang tidak dapat disangkal adanya suatu masalah. Namun yang menjadi masalah ialah soal dogmatika atau ‘aqîda sebab tiga agama surgawi itu mempunyai faham dogmatis yang berbeda mengenai Allah yang sama, baik hakikat-Nya maupun pula mengenai cara penyataan-Nya dan tindakan-tindakan-Nya. Namun soal dogmatis adalah satu hal, dan soal bahasa sebagai alat komunikasi antara manusia adalah hal yang lain. Bahasa tak dapat dibatasi pada satu filsafat atau agama tertentu saja. Hal itu berlaku ajuga bagi bahasa Arab yang merupakan ciptaan manusia (yakni manusia Arab). Juga kalau Allah – menurut kepercayaan umat Islam – memilih bahasa Arab untuk wahyunya yang terakhir maka bahasa Arab tetap bahasa manusia, bukan bahasa keramat. Sebagai alat komunikasi ia bebas untuk dipakai oleh mereka yang hendak berkomunikasi.
Pluralitas agama (dîn) diterima dalam Alquran. Yang mana yang benar dan yang mana yang tidak benar pada akhirnya akan diterangkan oleh Allah sendiri. Sementara ini kelompok-kelompok diajak untuk berlomba-lomba membuat yang baik (Sura al-Mâ’ida 5:48 dan di lain tempat). Memfitnah dan menghasut orang-orang yang lain agamanya tidak masuk dalam perbuatan al-khairât.
Note: Footnotes and scholarly references have been omitted in this online edition.
4 thoughts on “‘Allah’ is for all Malay Speaking People in Nusantara”
Comments are closed.